Halaman

Selasa, 28 Juli 2009

Resep menulis karya fiksi yang menggugah

Melihat judulnya bukan tidak mungkin kamu malah bertanya: Menggugah bagaimana? Wah, kamu pasti tahu kan Andrea Hirata; benarkah tetralogi Laskar Pelanginya itu laku keras karena sangat menggugah? Bisa jadi pada beberapa kemungkinan: menggugah semangat, nalar ilmiah, cita-cita luhur, rasa kepedulian sosial dan pendidikan, rasa kebersamaan, kecintaan pada pesona alam.

Menurut hemat penulis, kalau kamu ingin melahirkan sebuah karya fiksi yang menggugah, pikirkan efek apa yang hendak ditimbulkan dan bagaimana jalan, konflik, atau narasi yang mesti dibangun untuk menciptakan suatu kesan tertentu di hati dan pikiran pembaca. Kalau perlu buat pembaca meradang hatinya: sedih, marah, sangat peduli pada suatu hal.

Penulis baca ruang konsultasi di www.belajarmenulis.com ada pertanyaan begini: Bagaimanakah cara membuat karya fiksi yang menggugah, menggerakkan, dan memberi kesan mendalam bagi pembacanya? Penulis pikir, benar apa disampaikan Bang Jonru bahwa kamu harus rajin membaca karya orang lain. Tak hanya tulisan fiksi, tapi juga karya-karya non-fiksi.

Kamu tahu Andrea Hirata, tulisannya sarat fakta ilmiah. Habiburrahman El-Shirazy, dalam novelnya Ayat-Ayat Cinta, dalam menggambarkan budaya orang Mesir, apakah hanya mengandalkan khayalan/bualan belaka? Tentu tidak. Bisa jadi dalam konteks ini Kang Abik adalah sang penulis ulung yang sensitif, piawai membaca situasi lingkungan tempat ia menjalani kehidupan sehari-hari selama studinya di Mesir, baik itu fenomena sosial, ekonomi maupun politik di sana. Sehingga karya fiksi yang dihasilkan beliau tidak saja menggugah, tetapi juga mempunya nilai tambah di beberapa sisi.

Jadi pengalaman hidup dalam membangun sebuah karya rekaan juga penting. Simak bagaimana Afifah Afra (penulis novel trilogi Bulan Mati di Javasche Oraje (BmdJO), Syahid Syahidah, Peluru di Matamu, novel De Winst, dan beberapa cerpen, bernama asli: Yeni Mulyati) menuturkan pemikirannya dalam rubrik Aksara (Annida No.8/XVII/April 2008:
Pengalaman hidup dapat menjadi energi kreatif, tergantung sejauh mana intensitas kita dengan keseharian. Kita harus lebih dekat, lebih teliti; melihat lebih dekat dan mendengar lebih jelas, bukan sekedar melihat dan mendengar to'. Ibaratnya di otak kita ada vakuola (ronggan tempat menampung cairan), nah, bila kita banyak menampung maka akan meledak sendiri. Analogi lain adalah kembang api, kalau basah susah meledaknya, tapi kalau dipanaskan maka akan meledak dengan bagus. Jadi, pengekspresian dalam bentuk tulisan merupakan hasil pengolahan informasi dari pengalaman sehari-hari yang kita miliki, kemudian dikorelasikan dengan memori yang sudah ada di otak.

Jangan ragu untuk memasukan sebanyak mungkin memori ke dalam otak, optimalkan. Dengan membaca contohnya. Maka membaca itu menurut Ismail Marahimin adalah tenaga dalam. Selain itu bisa dengan merenung. Kadang ide orsinil datang dari perenungan.
Penulis sendiri menyarankan untuk menggali ide, sekalipun dari kejadian terkecil. Misalnya terlahirnya sebuah cerpen dari melihat genting jatuh. Tiba-tiba terpikir keroposnya kayu atap, kayu atap lalu menjadi ide sebuah bangunan laboratorium, laboratorium jadi setting suatu kejadian ganjil, misalnya di dalam laboratorium ada seorang profesor gila yang bisa membahayakan kehidupan manusia di dunia, padahal hanya sebuah laboratorium tak terurus. Selanjutnya racik ide tersebut dengan gaya bahasa yang bisa lucu, tegang, menakutkan, tetapi tetap bijak dan kental dengan metafora-metafora. Jangan lupa amanat apa yang hendak disampaikan. Gagasan muncul pertama kali bisa jadi hanya sebagai wadah saja, dasarnya karya apa pun yang baik tentu harus mengandung manfaat yang dalam hal ini amanat, bukan?

Intinya tulisan fiksi yang menggugah itu harus mempunyai pengaruh yang kuat dan memliki tema lain daripada yang lain. Kalaupun tema sama, coba dibuat lebih spesifik lagi. Dan yang tak kalah pentingnya harus dibikin senyata mungkin, sehingga dekat dengan kehidupan pembaca. Lakukan survey atau penelitian khusus kalau perlu, walaupun kenyataan yang kita buat itu hanya sebuah narasi rekaan. selamat menulis...