Halaman

Kamis, 29 Agustus 2013

Membangun Keluarga Shaleh/Shalehah


Membangun sebuah keluarga yang shalih dan shalihah adalah impian semua orang. Kuncinya adalah mujahadatunnafsi (memerangi hawa nafsu). Sebagai laki-laki yang kelak menjadi imam dalam sebuah keluarga, semestinya seorang laki-laki, mengendalikan hawa nafsu semenjak mencari calon istri. Di saat berusaha mencari calon pendamping hidup, ia tekun beribadah dan menahan diri dari melampiaskan hawa nafsunya dengan berbagai bentuk (ma'siat). Rajin berdo'a kepaa Allah supaya diberi petunjuk seorang istri yang sholehah. 

Setelah menikah tidak melupakan amal-amalan. Saat istri mengandung, istri dan suami rajin membaca Al-Qur'an bahkan mempelajarinya. Siang malam tidak lepas dari sholat 5 waktu dan sholat sunat. Siang, puasa sunat Senin Kamis. Rumah dibuat suasana yang Islami, seperti dipajangnya kaligrafi, dan memutar audio Al-Qur'an, supaya insyaAllah Allah menurunkan berkahnya. Hiasan lainnya berupa kitab-kitab keilmuan islam pada rak buku, dan tidak sekedar dipajang. 

Setelah anak lahir yang pertama diajarkan adalah Kitab Allah dengan berbagai cara yang menyenangkan bagi seorang anak kecil, dengan mengimbangi kecerdasan dan psikologisnya. Jangan lupa sang ibu dan ayah, ikut mempelajari Al-Qur'an dan kitab-kitab keislaman lainnya. Kedua orang tuanya juga mesti wara/apik dalam berbicara, bersikap dan memakan makanan, beribadah dan dalam kegiatan lainnya. Karena ikatan jiwa dengan sang anak sangat kuat, maka harus dimulai pula dengan menjaga jiwa orangtuanya. Senantiasa berdzikir dan bertafakur. Tidak lalai, dan tidak melakukan hal yang sia-sia. Sang ayah memberikan nafkah dengan rezeki yang halal dan yang berkualitas baik. 

Saat anak remaja dan tumbuh dewasa, maka orang tua baiknya mengadakan pertemuan rutin dengan seluruh anggota keluarga untuk penyegaran ruhani, memberikan pemahaman-pemahaman sosial, dan lain sebagainya, mendengarkan curhat si anak dan memberikan si anak tanggungjawab/kepercayaan dalam beberapa hal positif. Agar si anak tetap dalam koridor Islam dan tidak terjerumus pada pergaulan-pergaulan yang dapat membahayakan masa depannya. 

Orang tua selalu memberikan contoh yang positif, tidak hanya berbicara, tetapi bertindak menjadi lingkungan yang baik di lingkungan keluarga. Secara ruhani, orang tua selalu meningkatkan amal ibadah dan mendo'akan si anak, beramal untuk si anak. Sebab sering kali orang tua tidak tahu apa yang dilakukan si anak jika telah keluar dari rumah, atau di dalam kamar. 

InsyaAllah dengan mujahadatunnafsi demikian, yang memang berat dilakukan, tapi itulah konsekuensinya jika menghendaki keluarga/anak yang shalih dan shalihah. InsyaAllah dengan berbekal ilmu agama, seorang anak akan berhasil dalam bidang apa pun yang digelutinya di masa depan. Jangan salah memilih dan menentukan. Agama adalah pondasi terbaik. InsyAllah.


Menyingkirkan Batu-batu Kecil, Di Atas Permata


"Islam itu seirama..." begitu ucapan guru saya yang masih terngiang sampai kini. Waktu itu tampak dalam benak saya bayang2 visual, daun nyiur yang digoyang-goyangkan angin "seirama". Begitu saat dijelaskan betapa mudahnya syariat Islam, yang begitu pengertian, dinamis mengikuti keadaan. Tatkala sakit bila terkena air, ada keringanan dalam sholat, tidak perlu wudhu cukup dengan tayamum. Tatkala hujan deras, khawatir terjadi bahaya di jalan, tidak mengapa sholat fardu di rumah saja. Tatkala kaki tidak mampu menopang badan, sholat duduk saja. Dan yang lainnya.

Yang dapat dihadirkan di sini betapa Allah maha penyayang melalui hukum2 yang ditentukan. Akan tetapi jika sedikit sekali penghalang yang merintangi. Seperti capek, atau sakit dalam kadar yang sedikit, sebaiknya tidak menghalangi kita untuk menunaikan kewajiban kepada Allah. Dalam keterbatasan baiknya kita istiqomah menjaga ibadah-ibadah kita. Sorang ulama berkata: "Syariat agama Islam itu ringan, tapi jangan dibikin ringan" dengan membangun alasan yang diada-ada.

 Rintangan-rintangan yang ada, walaupun kecil, itu bisa jadi merupakan tantangan untuk meningkatkan derajat kita. Ingat, bahwa adanya ujian itu untuk meningkatkan derajat seorang hamba, tatkala lulus dari ujian tersebut. Sakit sedikit mah wajar, kecuali kalau sakit parah, jangan memaksakan diri. 

Kita ukur kadar keimanan kita dengan tantangan-tantangan yang kecil-kecil, sampai tantangan yang lebih sulit. Semua ujian kita terima agar menjadi pelajaran bagi diri kita, sehingga kualitas keimanan kita terus meningkat. Mudah-mudahan kita tergolong orang-orang yang diberi petunjuk.

Dimulai dari Membuka Al-Qur'an


Memang pengalaman selalu lebih berharga, tapi kadang-kadang kita butuh teori juga. Dalam hal ini Anda ingin pintar dalam ilmu agama, berikut beberapa tipsnya (teorinya, yang ingin saya terapkan juga, insyaAllah mampu, aamiin). Mengapa ilmu agama? Karena ilmu ini penting untuk mengendalikan diri, kedamaian di masyarakat, mengetahui harapan di masa depan. Ia juga jadi "penyejuk" di kala "kepanasan", dan menjadi "penghangat" di kala kedinginan. Ilmu agama, seperti Kang Cucu bilang, mampu mengungkap hakikat yang ada di balik sesuatu, sehingga kita tidak tertipu (terpedaya) oleh keadaan yang melemahkan diri.

Ilmu agam Islam, sering berkaitan dengan kitab-kitab. Pertama kitab induk Al-Qur'an, merupakan kitab suci wahyu Allah. Ini perlu dilestarikan, bukan dalam bentuk tulisan saja, tetapi yang terbaik adalah dihafalkan (disimpan dalam sel otak dan hati dengan rapi) yang mendorong lahirnya cendikiawan-cendikiawan muslim, perembangan ilmu, dan kejayaan. Juga mendorong mengamalan isinya. Sebab percuma saja Al-Qur'an didiamkan tanpa pengamalan.

Ada juga kitab-kitab (buku) karangan ulama-ulama, seperti fiqh, tauhid, tasawuf, dengan ratusan judulnya. Untuk mengetahui/memahami isi kitab-kitab berbahasa Arab itu, pelu belajar bahasa Arab. Yang paling utama adalah menghafal kosakata, kemudian tatabahasanya. Untuk mahir membaca kitab, dapat dilakukan dengan membeli dahulu, kitab yang diterjemahkan per-kalimah/per-kata. Sambil dihayati isinya, dihafal juga arti tiap kata. Metode ini memerlukan kesabaran di awal, nantinya tinggal pengulangan saja. Seperti dalam bacaan bahasa Indonesia, kata "belajar", mungkin sekali terulang puluhan kali dalam suatu buku, terlebih kata penghbung seperti "jika", "dengan", atau kata "merupakan", kemungkinan akan diulang dengan sering. Jadi akan berat di awal ketika bertemu kosakata yang baru, dan akan ringan nantinya setelah menemui banyak pengulangan. 

Saya rasa belajar bahasa Arab langsung dari Al-Qur'an terjemahan per kata, atau kitab cabang terjemahan/logat per kata, lebih efektif sambil sedikit-sedikit ditunjang mempelajari tatabahasa, lebih efektif, ketimbang mempelajari tatabahasa secara langsung, dan menghafal kosakata dari kamus secara langsung. Adapun kamus itu hanya penunjang untuk memperjelas arti sebuah kata. Alasannya adalah, dengan belajar langsung dari kitab terjemahan, kita bisa langsung tahu konteks/arti/fungsi kata tersebut dalam suatu kalimat.

Atau kalau pun tidak dengan terjemahan, kita coba menterjemahkan sendiri sebuah kitab dengan bantuan kamus, kemudian di akhir, konsultasikan pada seorang guru/pakar bahasa. Takut-takut ada yang salah. 

Ilmu dalam agama islam itu banyak dan kompleks. Ada berbagai bidang. Maka kita harus tertib dan terrencana ketika akan mendalami ilmu agama. Lebih baik satu per satu dalam mempelajarinya, supaya fokus. Misalnya dalam sebulan, hanya mempelajari satu macam kitab. Sampai betul-betul paham. Harus sabar dan dalam waktu yang lama. Intens. Tarohlah 10 tahun misalnya, tapi 10 tahun yang efektif, tidak bolong sebagian. Target, umur 30 tahun itu sudah jadi "orang", pantes lah disebut ulama, umpamanya, atau umur 40 tahun, sudah "mateng". Apalagi kalau belajarnya sejak kecil, sejak umur 5 tahun umpamanya.

Islam harus bangkit, caranya dengan mencetak ulama-ulama muda. Dan ini memerlukan motivasi-motivasi dan keimanan yang kuat. Sebetulnya motivasinya simpel saja. Orang yang berjuang dalam agama Islam, mau melestarikan ilmu-ilmu keislaman dengan ikhlas insyaAllah akan bahagia hidupnya di dunia dan di akhirat.

Sumber Gambar : belajarmembacaal-Qur'an

Sabtu, 24 Agustus 2013

Lantai Mesjid Jadi Bentangan Kitab


Suat hari, imam  mesjid jami Al-Mubarok di kampung saya (Kp. Samarang, Ds. Mekarsari, Kec. Tambaksari, Kab. Ciamis), Ust. Udin Haerudin, terdiam, bertafakur usai menyapu lantai di mesjid. Ia melihat, sekilas mesjid bersih, tapi setelah disapu, banyak juga sampah-sampah kecil, dan debu-debu yang terkumpul. Padahal tidak ada yang pernah sengaja mengotori mesjid. Tidak seperti di tempat-tempat lain, seperti kantor, balai, pasar, toko, keberadaan orang di tempat-tempat selain mesjid itu cenderung membuat kotor, akibat alas kaki, sampah dan lain-lain. Tapi di mesjid? Orang pergi ke mesjid hanya untuk beribadah. Tidak ada yang membuang bungkus rokok atau permen. Tidak juga membuat mesjid kotor akibat alas kaki. Tapi setelah lama dibersihkan, ada saja benda-benda yang membuat kotor.

Ia berpikir,  mungkin seperti ini pula dengan "dosa". Kadang kita tidak merasakanya dan menyadarinya. Kadang tidak pula sengaja melakukannya, tapi ada saja dosa yang tidak sengaja dilakukan, disadari atau pun tidak. Sedikit-sedikit, akhirnya menumpuk, jadi banyak juga.

Makanya tidak heran jika Rasulullah Saw. mencontohkan beristighfar minimal 70 atau 100 kali dalam sehari. Istighfar mestinya memang terus diucapkan kapan pun, di mana pun. Dalam waktu senggang, memang sebaiknya diisi dengan ibadah, daripada tidak melakukan apa-apa. Seorang guru pernah mencontohkan, pada saat berangkat ke tempat kerja, misalnya Anda bertemu lampu merah di jalan sebanyak 5 kali, kalau tiap kali stop Anda istighfar 10 kali, sampai di kantor sudah 50 kali. Pulangnya 50 kali lagi, jadi jumlahnya seratus kali. Atau Anda beristighfar sepanjang perjalanan. Boleh jadi Anda sempat mengucapkan istighfar lebih dari 100 kali.

K.H. Cucu Syamsul-Millah, S.Sy., (pimpinan Ponpes Manarul Huda Cileungsir, Kec. Rancah, Kab. Ciamis) mengatakan bahwa tidak ada dosa kecil, jika dihadapkan kepada Allah, Tuhan yang Maha Besar. Beliau membuat suatu analogi, kurang lebih begini : "Jika Anda mencubit anak Anda karena bandel, masih wajar, tapi jika yang Anda cubit adalah seorang bupati, maka menjadi salah besar." Allah adalah Tuhan Yang Maha Besar, Maha segalanya. Jika kita berbuat dosa, melanggar ketentuan-Nya, maka sekecil apa pun, jadi besar ketika di hadapkan kepada Allah.

Coba perhatikan hidup kita. Apakah terasa begitu sulit? Ketika musibah demi musibah terus terjadi. Berbagai macam kesulitan menghampiri tiada hentinya. Membuat kita harus terus menerus mempertebal kesabaran. Apakah yang ada di balik semua itu? Dalam hal ini K.H. Tatang, dari Garut, ketika acara Halal Bil Halal di Ponpes Cibeureum pada hari Minggu malam Senin tanggal 18 Agustus 2013, mengatakan bahwa ada suatu jenis dosa yang masih di dunia pun terasa akibatnya, berupa kesulitan-kesulitan hidup. Dosa tersebut adalah mendzalimi/menyakiti orang lain. Ada baiknya kita selalu mengoreksi diri dari hal tersebut. Sebab sering kali hal itu tidak terasa dan tidak disengaja. Misalnya: padahal maksud kita tidak menyakiti, bahkan baik, ternyata ada saja sisi yang menyakitkan bagi orang sekitar. Membuat orang menjadi dongkol, merasa tersakiti. Mungkin caranya yang kurang tepat, atau waktu dan tempatnya yang tidak tepat.

Di satu saat, ada kalanya ibadah terasa begitu berat. Kita malas beribadah. Mengenai masalah ini, saat saya konsultasikan kepada Ust Ano, salah satu guru Diniah Miftahul-Munir, Dusun Samarang mengatakan bahwa malas dalam beribadah bisa disebabkan oleh penghalang berupa dosa. Karenanya perbanyaklah istighfar.

Memang, hidayah (keinginan untuk beribadah) itu dapat dianalogikan sebagai cahaya yang menerangi hati. Jika hati kotor oleh dosa, maka cahaya tersebut tidak dapat tembus menerangi hati. Namun jika sudah dibersihkan (dengan cara bertaubat) cahaya hidayah itu bisa menerangi hati kembali, tanpa dirintangi dosa. Hasilnya keinginan ibadah pun timbul, dan mendorong perilaku untuk merealisasikannya.

Pada saat khutbah Jum'at di Mesjid al-Mukhtariah, Gunung Roay II, Taikmalaya (deket Unsil), khatib Bp. Saepuloh. (bapak kost, kosan Mawar, hehe...), saya mendengar ucapan beliau yang mengemukakan pendapat seorang ulama (saya tidak tahu nama ulama itu siapa), kalau tidak salah ada 4 ciri orang yang taubatnya diterima. Pertama lisan orang tersebut akan terjaga. Kedua hatinya tidak mengandung kebencian kepada orang lain. Ketiga orang tersebut selalu ingin bersama orang-orang yang sholeh. Keempat orang tersebut suka untuk mengumpulkan bekal ke akhirat kelak (beribadah dengan ikhlas). Keempat indikator ini patut untuk kita ingat, sambil kita cocokkan dengan diri kita sendiri. Jika belum cocok, kita berusaha supaya cocok, dengan demikian mudah-mudahan kita termasuk orang yang berusaha bertaubat, dan akhirnya tergolong kepada golongan orang-orang yang bertaubat. Amiin.



Sumber Gambar : kucintaquran.blogspot.com