Jilbab bukan hanya penutup aurat, tetapi juga identitas muslimah. Manakala
seluruh umat bercampur di lingkungan heterogen, Anda dengan mudah dapat
mengenali mana perempuan beragama Islam dan bukan Islam dari cara
berpakaiannya. Sehingga tidak heran, pada saat pertama kali mengikuti kuliah
sarjana, dosen Fisika Dasar I saya, barangkali tergerak rasa toleransi, beliau
mengajukan sebuah pertanyaan kepada kami sebelum menjelaskan penciptaan alam
semesta, begini: "Bagaimana, kita sepakat pakai kata Tuhan saja atau
Allah? Apakah di sini semuanya muslim?", saya melirik, memang tidak semua
mahasiswa perempuan, dan tidak semua perempuan berjilbab, ada dua orang yang tidak
berjilbab pada saat itu. Saya akui, agak sulit menyimpulkan, apakah dosen saya
bertanya begitu sebab dua orang perempuan itu, atau memang tidak tahu semua
mahasiswa muslim, sebab ada laki-laki juga. Tapi saya yakin andaikata semua
mahasiswa perempuan, dosen saya akan tetap bertanya seperti itu, karena ada dua
orang perempuan tidak berjilbab di dalam kelas. Walaupun nyatanya semuanya beragama
Islam.
Dari kejadian itu benarlah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa
yang meniru suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud yang
dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Masyarakat jadi berprasangka, atau salah sangka... kalau sampai berprasangka
buruk, maka masyarakat tanpa sadar menggolongkan/memasukkan orang tersebut pada
golongan yang ditiru. Sebaiknya setiap umat Islam tidak berharap itu terjadi
pada diri mereka. Baiknya setiap muslimah tidak ingin orang salah sangka
mengenai agama si muslimah, gara-gara pakaiannya.
Kembali pada dua orang sahabat saya yang perempuan itu. Ya, mereka memiliki
masalah, dengan jilbab. Tapi tidak dapat dipastikan penyebabnya, kecuali
dikembalikan kepada, bahwa mungkin mereka belum mendapat hidayah dan taufik.
Namun masyarakat kita yang mulai kritis membutuhkan jawaban, paling tidak
berupa tinjauan dari segi sosial dan psikologi, yang tujuan akhirnya adalah
dihasilkannya solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan ini.
Memang baiknya diadakan wawancara khusus. Namun sementara ini, digunakan
pernyataan yang pernah terdengar sebagai objek tinjauan. Mungkin belum mewakili
secara rinci tapi diharapkan sudah mewakili secara umum.
Pernyataan seperti "Saya belum siap memakai jilbab." Mungkin
sering kita dengar, atau terucap dalam hati sebagian muslimah. Atau pernyataan
yang kelihatan memperkuatnya: "Saya lebih memilih menjilbabi hati
dulu.", seperti pernah dilontarkan seorang artis muslimah pada sebuah
segmen acara televisi. Sangat disayangkan. Penyataan seperti itu baiknya tidak
dikatakan, apalagi di depan umum. Dikhawatirkan jadi pembenaran. Sedangkan
memakai jilbab adalah kewajiban bagi perempuan. Hal lainnya juga yang tanpa
disadari merupakan pengikis syiar Islam, adalah hal-hal seperti mode pakain
barat, penjual pakaian, tayangan-tayangan yang mengumbar aurat, termasuk perempuan-perempuan
Islam sebagai individu yang terbawa arus trend. Sebaiknya mereka memahami dan
peduli akan resiko dari apa yang mereka rancang, buat, jual, tayangkan, dan
dari apa yang mereka pakai. Semestinya mengerti betul, bahwa sementara muslim
yang lain memperkuat syiar Islam tentang menutup aurat, mereka justru tanpa
disadari mengikisnya dengan pakaian-pakaian ketat, dan serba terbuka.
Masalah ‘belum siap berjilbab’ tidak terlepas dari pengaruh lingkungan.
Tampaknya trend barat memang tidak habis-habisnya diikuti banyak orang,
termasuk sebagian besar umat Islam di Indonesia. Sebagian besar dari golongan
anak muda, tapi generasi dewasa pun sebagian mulai terpengaruh. Paparan
pengaruhnya begitu kuat, sehingga mungkin sekali telah menyebabkan pergeseran
rasa. Memang sebagai mahluk sosial manusia memiliki kebutuhan akan kesetaraan
dan kesesuaian dengan lingkungannya. Apabila tampil berbeda akan menimbulkan
rasa tidak nyaman dan rasa terasing. Inilah tantangannya. Dengan demikian
lingkungan menjadi begitu berpengaruh, sehingga tak heran ada beberapa
perempuan yang memakai jilbab saat kuliah mengikuti kebanyakan temannya, namun
di lingkungan rumahnya ia tidak berjilbab, sebagaimana keluarga dan lingkungan
sekitar. Dengan kata lain berpakaian bukan lagi berfungsi menutup aurat.
Landasan yang dipakai bukan lagi hukum Islam, tapi semata-mata trend dan
memenuhi kebutuhan sosial semata.
Hasilnya fungsi pakaian dewasa ini semakin beragam. Para pakar menghimpunnya
menjadi beberapa fungsi, termasuk pendapat dosen filsafat agama saya bahwa
fungsi pakaian diantaranya sebagai fungsi estetika, etika dan menutup aurat. Beliau
menjelaskan bahwa ketiga-tiganya haruslah hadir pada pakaian umat Islam. Tidak
cukup salah satunya. “Kalau cukup dengan menutup aurat, pakai karung doang juga
selesai, tapi apa nanti kata orang?” kelakar beliau. Dua unsur lainnya,
estetika berarti keindahan, dan etika berarti kesopanan. Ketiganya saling
melengkapi. Agaknya tiga unsur ini cukup dijadikan pegangan para perancang
busana muslimah, apa pun trend (kecenderungan) busana muslimah/muslim yang akan
diciptakan dan dipopulerkan.
Berkaitan dengan pakaian sebagai kebutuhan sosial, sebetulnya orang tidak
perlu takut dikatakan berbeda, kalau memang di jalan benar. Anggapan aneh atau
asing dari lingkungan hanya datang saat pertama kali, selanjutnya orang akan
menganggap biasa justru lama-lama akan terpengaruh, asal tetap pendirian. Sebab
jika tetap pada pendirian, Anda-lah lingkungan itu, yang berfungsi mempengaruhi
orang di sekeliling. Itu saya saksikan pada saudari kandung saya. Ia berprinsip
dengan berpakaian muslimah, lama-lama teman-teman dekatnya tertarik, termasuk
adik kelasnya yang menjadi tetangga kami. Menurut saya itu terjadi karena ia
tetap pendirian, dan karena cara berpakaian muslimahnya menarik. Menarik bagi
kebanyakan orang memiliki sisi penting yang lain yang tidak boleh diremehkan, sebab
hal tersebut yang menciptakan magnet kemudian menjadi trend.
Setelah produk menarik, selanjutnya promosi. Adik kandung saya sudah
berpenampilan muslimah dengan cukup menarik. Jika itu dikatakan sebagai produk,
maka media promosinya adalah silaturahim ia kepada teman-temannya sesama
perempuan. Atau sebut saja main.
Inilah yang dipakai mereka untuk menyebarkan pengaruh budaya non-Islam,
sengaja atau tidak. Mereka melakukan ‘promosi’ melalui berbagai media informasi.
Sehingga mode-mode pakaian barat menjadi trend (kecenderungan) banyak orang
Islam yang awam. Pakaian serba ketat dan terbuka jadi paling diminati, karena
trend. Semata-mata menghanyutkan diri dalam arus pop. Nah, di sinilah tugas
kita, yaitu membalikkan kondisi yang ada, menjadikan busana muslimah sebagai
trend dan populer.
Kita tentu menyaksikan iklan televisi tidak melulu melayani penawaran produk
komersial, tetapi kadang-kadang juga iklan layanan sosial, dengan demikian
agaknya dapat pula andaikata organisasi-organisasi Islam membayar sedikit uang
untuk membuat iklan da'wah. Kalau produk saja yang berorientasi profit
dipromosikan, mengapa kehidupan seindah Islam yang berorientasi memanusiakan
manusia tidak dipromosikan? Atau melalui film-film Islami, tidak mesti di bulan
Ramadhan saja. Sebetulnya ada saja jalan memasukkan Islam ke dalam kehidupan
sehari-hari melalui media, jika dilakukan secara kolektif tidak akan begitu
berat dan sukar.
Secara individu, Anda kaum perempuan bisa berusaha berbusana muslimah dengan
penampilan yang menarik walaupun sederhana. Sisi apa yang membuat menarik, Anda
mungkin lebih tahu. Namun beberapa saran mengatakan kecantikan sikap menjadi
daya tarik tersendiri. Tujuan Anda secara individu adalah menjadi figur contoh.
Kesuksesan Anda menjadi figur tidak dilihat semata-mata dari cara berpakaian
atau makeup Anda, menarik atau tidak, tetapi juga dari sikap Anda. Terkadang
orang mengikuti cara berpakaian seseorang bukan karena meminati pakaiannya
tetapi karena menyukai orang yang memakainya. Jadi yang harus menarik adalah
sikap dan pakaian Anda sekaligus.
InsyaAllah, dengan usaha bersama dari berbagai segi perlahan-lahan
lingkungan akan tumbuh menjadi lingkungan yang Islami. Bukan hanya secara fisik
tetapi juga sikap dan tatanan sosial secara umum. Islam itu indah.