Halaman

Sabtu, 29 Desember 2012

Merasa Malu

Bsmillaahi rrahmaani rrahiim...
Assalamu 'alaikum...

Misalnya ada seorang fakir kita beri uang satu juta. Dia terima uang itu, lantas pulang, dengan muka masam dan tidak mengucapkan terimakasih, atau basa-basi apa pun kepada kita. Kira-kira enek nggak? Hehe... Dengan uang satu juta pemberian kita itu, si fakir membuat usaha kecil-kecilan, lama-lama berkembang jadi usaha yang gedean. Suatu hari kita berpapasan dengan orang itu di jalan, tapi dia tidak nyapa, kita sapa pun dia malah pura-pura nggak kenal sama kita. Nah, kira-kira kita nilai orang itu dengan sebutan apa?! Ya... mungkin tidak tahu terimakasih, atau tidak tahu malu, bahkan tidak tahu diri.

Bandingin dengan kita sebagai manusia. Kita dikasih Allah ni'mat yang melimpah, karunia yang banyak pada diri kita dan alam sekitar. Begitu beragam ni'mat mengililingi kita, tiap detik, di mana pun, dalam keadaan apa pun. Panca indera, anggota tubuh, ruhani. Air yang kita minum, cahaya yang menerangi aktivitas, udara yang dihirup, berbagai macam energi yang kita gunakan untuk kerja sehari-hari. Ada pula ni'mat yang agung, berupa ni'mat iman, ni'mat-ni'mat seperti silaturahim, saling menyayangi, ni'mat perasaan hati.

Baiknya kita bertanya kepada diri kita, apakah disebutnya kita apabalia karunia besar pemberian Allah itu tidak membuat kita tergerak untuk beribadah kepada-Nya dengan ibadah yang terbaik?

Saat adzan berkumandang, saat Allah Yang Maha Agung, Sang Pemberi satu-satunya, memanggil kita, betapa kita tidak tahu diri, tidak tahu malu, kaki kita malah tetap terpancang di tempat hiburan, di kantor, di depan komputer, di depan para pelanggan. Tangan tetap sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan duniawi. Saat iqamah dikumandangkan, kita tetap memutar otak bagaimana melipat gandakan keuntungan penjualan, bagaimana mengatur strategi untuk memperoleh pengakuan atasan. Mata tetap lekat dengan beragam keindahan, dengan banyak hal mubah dan tidak begitu perlu. Mulut tetap berbuih, mengatakan sesuatu hanya untuk ditertawakan, untuk dikagumi, yang walaupun penting, toh masih banyak waktu dan dapatlah dilanjutkan setelah sholat (setelah panggilan Allah) yang tertentu/dibatasi waktunya.

Kembali pada cerita si fakir tadi. Si fakir disebut tidak tahu malu bahkan tidak tahu diri, sebab dia melupakan orang yang telah berjasa begitu besar kepadanya sehingga dia tidak fakir lagi, malah akhirnya dia sukses. Nah, lalu apa bedanya si fakir dengan kita? Jika kita melupakan Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara diri kita.

Kita berharap kita selalu merasa malu. Kita tahu, Allah selalu memberi kita, memperhatikan kita dan mengawasi kita atas apa yang kita kerjakan, bahkan atas apa yang kita rasakan. Sejatinya, kita selalu ingin dan rindu mengabdi dengan pengabdian terbaik kepada Allah. Sejatinya kita adalah mahluk yang selalu merasa lemah dan selalu merasa butuh atas pertolongan Allah. Hanya pada Allah lah tahta kebesaran, hanya pada Allah lah kedudukan tertinggi. Hanya Allah lah, pengahabisan langkah kita, ke manapun jalannya. Dalam arti, kemana pun kaki kita melangkah dan apa pun yang kita kerjakan kepada Allah jualah kembali, untuk menerima balasan atas pekerjaan kita. Pada hari itu, saat do'a dipanjatkan, dan bunga sengaja ditabur di atas tanah merah.

Alhamdulillah...

Gambar 1 : Google
Gambar 2 : Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar